Khotbah Matius 26 : 69-75 "Petrus Menyangkal Yesus" Tema Khotbah : Apakah Masih Ada Tempat Untuk Orang Seperti Saya?

Khotbah Matius 26 : 69-75 “Petrus Menyangkal Yesus”

Tema : Apakah Masih Ada Tempat Untuk Orang Seperti Saya?


          Kefas atau Petrus adalah nama lain dari Simon. Nama yang berarti Batu Karang. Petrus dalam bahasa Yunani artinya Batu Karang, Kefas dalam bahasa Aram artinya Batu Karang. Dan yang paling menarik dari nama Kefas atau Petrus adalah nama ini, diberikan oleh Yesus. Yesus yang memberikan nama ini.

                        Yohanes 1:42 Ia membawanya kepada Yesus. Yesus memandang dia dan berkata:                                     “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).

Semua kitab Injil dalam menceritakan penyangkalan ini menggunakan nama Petrus, nama yang diberikan Yesus. Dalam cerita alkitab, Petrus adalah seorang Rasul. Seorang murid Tuhan. Seorang yang emosional. Dia pernah melangkah keluar dari perahu dan berjalan di atas air. Dia pernah memotong telinga hamba imam besar Malkhus. Dia yang berkata di malam perjamuan

           Kata Petrus kepada-Nya “sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan                          menyangkal Engkau”. Semua murid yang lain pun berkata demikian juga (Matius 26:35).

. Beberapa jam sebelum peristiwa itu. Petrus berkata, sekalipun harus mati. Dan pada saat itu Petrus menyangkali Yesus. Ayat 70 tetapi ia (Petrus) menyangkalnya di depan semua orang. Ayat 72 ia menyangkalnya pula dengan bersumpah: “Aku tidak kenal orang itu”. Ayat 74 maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah : “Aku tidak kenal orang itu”.

Keadaan merubah orang. Mungkin kata-kata itu tidaklah salah. Mulai dari menyangkal lalu menyangkal pula dengan bersumpah dan terakhir sampai mengutuk dan bersumpah. Sekali berdusta, dusta-dusta yang lainpun mengikuti. Sekali terbiasa akan sulit untuk berubah. Sekali menyangkal Kristus sudah sangat menyakitkan. Apalagi tiga kali menyangkal Kristus. Disertai dengan bualan beberapa jam yang lalu bahwa ia tidak akan menyangkal Kristus.

Di dalam cerita-cerita selanjutnya bahkan sampai kebangkitan Kristus, Petrus pergi memancing. Yohanes 21:3 kata Simon Petrus kepada mereka: “Aku pergi menangkap ikan”. Kata mereka kepadanya: “Kami pergi juga dengan engkau”. Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa.

Jemaat yang dikasihi Tuhan, kita bertanya-tanya mengapa? Bahkan ketika Kristus sudah menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya, Petrus dan beberapa murid yang lain pergi menangkap ikan? Bukankah Petrus telah berhenti sebagai nelayan dan mengikuti Yesus. Bukankah Petrus telah meningalkan semuanya dan mengikut Yesus?

Apakah alasan karena malam yang kelam itu? apakah rasa bersalah karena menyangkali Yesus? ataukah karena Petrus terlalu malu karena dia pernah berkata bahwa tidak akan menyangkali Yesus beberapa jam sebelum dia menyangkali Yesus?

Mungkin Petrus sama seperti kita, apakah saya masih layak melayani Tuhan? Apakah ada tempat untuk orang berdosa seperti saya? Kita lari dari tanggung jawab karena rasa bersalah.

Ayam yang berkokok, hanya memperjelas semua yang Yesus katakan. Bisa saja Petrus untuk beberapa waktu yang lalu terus merasa bersalah, bahkan ketika ia akan bangun pagi.

Di akhir cerita dalam bacaan ini, …. Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya. Petrus dirundung rasa bersalah, kesedihan, seorang yang dianggap “Pemimpin” tidak resmi para murid, menyangkali Yesus. Petrus sadar akan kesalahannya.

Saya akan berhenti bermain judi, tetapi malahan sebaliknya

Saya akan menjadi pegawai yang jujur, ahh hanya kali ini saja saya korupsi. Lagipula ini hanya sepuluh ribu.

Jika saya sembuh saya akan lebih giat beribadah, tetapi setelah sembuh masih tetap malas

Setiap orang pernah berbuat dosa, ada beberapa dosa yang bagi orang lain itu menjadi dosa “kesukaan”, dosa yang sulit untuk dilepaskan. Yang jika sekali diperbuat akan terus diperbuat. Dan saat-saat seperti itu, kita bertanya apakah saya masih layak? Kita berdoa, Tuhan kita berdosa, kita sudah berjanji tapi kita lakukan lagi. Apakah Tuhan masih mengasihi saya?


Ada suatu kisah.[1] Sunyi senyap sekejap, bunyi mendegung dan tanah mulai bergetar. Bangunan-bangunan mulai bergoyang dan runtuh. Tidak lebih dari empat menit banyak orang yang mati karena gempa bumi berskala 8,2 yang mengguncang dan meratakan Armenia pada tahun 1989.

Dalam keributan itu, seorang ayah berlari kencang di jalan menuju ke sekolah anak laki-lakinya. Anaknya ke sekolah pagi itu dan ia masih ingat apa yang dijanjikannya berkali-kali kepada anaknya: “Apapun yang terjadi , Armand, bapak akan selalu siap menolongmu”. Ia sampai di sekolah itu, tetapi yang dilihatnya hanyalah reruntuhan belaka. Pada mulanya ia hanya berdiri mematung saja sambil menahan air mata, lalu ia mulai beranjak, berjalan tertatih-tatih tersandung reruntuhan, menuju ke arah pojok timur lokasi kelas anaknya.

Dengan tangan kosong, ia mulai menggali reruntuhan itu. Ia mengangkat batu dan reruntuhan tembok, sedangkan orang lain mulai berbicara “sudahlah pak, mereka semua sudah mati”. Sang Bapak itu menjawab, “Bapak tidak usah banyak komentar; bantu saja saya menyingkirkan batu bata ini”. Hanya sedikit yang mau membantu dan mereka berhenti ketika tangan mereka sakit. Tetapi bapak itu tidak henti-hentinya memikirkan anaknya.

Ia terus-menerus menggali. Berjam-jam lamanya.. dua belas jam.. delapan belas jam… dua puluh empat jam.. akhirnya sampai masuk ke jam yang ketiga puluh delapan, ia mendengar suara erangan dari bawah dinding papan. Ia memindahkan papa itu, dan berseru, “Armand” dari kegelapan terdengar suara yang agak gemetar, “Bapak”. Kemudian suara-suara lain mulai terdengar pelan, sementara anak-anak yang masih hidup itu menyeruak dari timbunan reruntuhan. Orang-orang yang menonton dan orang tua yang masih tinggal di situ terperangah dan menjerit lega. Dari tiga puluh tiga siswa, masih ada empat belas yang hidup.

Ketika Armand akhirnya bisa keluar, ia membantu menggali sampai semua teman-temannya yang masih hidup bisa keluar. Setiap orang yang berdiri di sana mendengarnya berkata kepada teman-temannya, “Apa kubilang, bapakku tidak akan melupakan kita semua”.

Tuhan tidak melupakan kita, kita berharga dimata-Nya. Masa lalu dalam kesalahan adalah kelam, membuat kita tertekan, frustasi, rasa bersalah. Tapi Kristus mau menjumpai kita. Dalam cerita selanjutnya, Petrus yang menyangkali Yesus ini, tampil dengan begitu berani, bahkan dalam tradisi Petrus mati dengan salib terbalik karena tidak mau disalib seperti Tuhan. Kristus menjumpai Petrus, Kristus menyumpai kita. Kristus mengampuni Petrus, Kristus mengampuni kita. Sungguh-sungguhlah memohon pengampunan-Nya.

AMIN



[1] Diadaptasi dari cerita Schott Hahn, A Father Who Keeps His Promises (Malang: Dioma, 2007), 13-14.  



Komentar

Postingan Populer