Refleksi "Esensi Ibadah Di Tengah Pandemi" By. Lietisia Z. Rengkung
Penulis : Lietisia Z. Rengkung
Munculnya kasus
pandemi Covid-19 (coronavirus) yang mendunia hingga ke Indonesia dan yang mulai
mewabah dari awal tahun 2020, dibuatlah pembatasan sosial berskala besar, dan peraturan
pemerintah telah membatasi pertemuan sosial, yaitu dengan melakukan proses jaga
jarak (social distancing) baik di tempat umum maupun di gereja. Akhirnya, ibadah
pun diadakan di rumah masing-masing baik secara online dengan menggunakan teknologi
berbasis internet atau pun melalui toa di gedung gereja untuk melaksanakan ibadah
demi memutus mata rantai penyebaran virus ini. Sehingga segala kegiatan yang
ada pada Tahun Gereja harus ditunda bahkan ditiadakan. Di Indonesia pemerintah mulai
menerapkan jaga jarak atau social distancing bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Dampaknya, terjadi pembatasan pada sektor publik dan aktivitas peribadatan
keagamaan.
Menyikapi akan
pandemi yang terjadi dan ditutupnya tempat-tempat ibadah memang banyak yang tidak
suka dan tidak puas dengan keputusan tersebut. Tapi biarlah kita meresponnya dengan
hal positif bukan dengan pemikiran yang negatif. Karena gereja itu bukan hanya berbicara
tentang gedungnya, tapi lebih kepada gereja itu sendiri yaitu orang-orang di dalamnya
yang adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Sehingga sebagai
orang-orang yang percaya kita mampu merekonstruksi kembali makna dan konsep ibadah
yang esensial yang tidak hanya terfokus kepada hal-hal yang bersifat fisik semata-mata.
Namun bagaimana kita menyatakan apa yang sesuai dengan Firman Tuhan (Alkitab) yaitu
ibadah merupakan hubungan kita dengan Tuhan sang pemilik kehidupan. Pentingnya walaupun
hanya beribadah dirumah masing-masing kita juga dapat merasakan kehadiran Tuhan,
dengan kesungguhan hati kita menyembah dan memuliakan-Nya walaupun ditengah-tengah
keterbatasan kita. Walaupun beribadah dirumah masing-masing dan bukan di gedung
gereja tidak mengurangi sukacita kita dalam menghadap hadiratNya yang suci dan kudus.
Pelaksanaan ibadah
di rumah-pun secara biblical-historis pernah terjadi baik dalam kisah Perjanjian
Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Konsep sebagai ibadah awal secara tersirat menggambarkan
ibadah yang bersifat pribadi, dimana manusia mengungkapkan rasa syukurnya kepada
“Sang Pencipta”. Selain itu dalam kisah pelayanan Yesus maupun pasca-Yesus model
ibadah di rumah sudah menjadi hal yang biasa, terutama pada masa-masa penganiayaan
orang Kristen mula-mula. Jadi sebenarnya tidak ada yang baru atau yang berubah secara
historis mengenai ibadah itu sendiri.
Gereja di era
modern ini memang menghadapi banyak sekali tantangan unik yaitu tata laksana ibadah
atau liturgi yang mengalami perubahan secara signifikan yaitu ibadah secara online
atau ibadah berbasis internet atau streaming. Ibadah di rumah bukanlah suatu upaya
untuk “merusak” esensi ibadah itu sendiri. Secara literer, Alkitab memberikan dasar
dan bukti yang kuat mengenai ibadah di rumah. Ibadah merupakan suatu persembahan
hidup manusia dengan Allah secara pribadi dalam ketundukan dan penyembahan. Dimana
pun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun kita harus dengan sungguh-sungguh beribadah
kepada Dia sang pemilik kehidupan ini. Beribadah dirumah menjadi ajang bagi kita
semua untuk kembali merefleksikan diri kita masing-masing, apakah selama ini kita
sudah benar dan dengan sungguh-sungguh beribadah kepadaNya ataukah ibadah yang kita
jalani hanya sekedar rutinitas biasa yang sudah sejak lama kita lakukan. Roma 12:1
"Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya
kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." Tuhan selalu menolong
dan memampukan kita menjalankan hari-hari hidup kita yang adalah anugerah-Nya.
Tetap percaya kepadaNya dan selalu hidup sesuai kehendakNya. Tuhan Yesus Memberkati.
Tentang Penulis : Lietisia Z. Rengkung, adalah Mahasiwa Semester VI Fakultas Teologi UKIT.
Komentar
Posting Komentar